Tambang Ormas Picu Konflik PBNU, Fahmy Radhi hingga Yenny Wahid Angkat Suara

Yenny Wahid ungkap ada sosok menteri tertentu yang mengizinkan pemberian IUP kepada ormas agama (Foto: Tangkapan Layar Youtube NU)

PARBOABOA, Jakarta - Sejak awal wacana pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan diluncurkan pemerintah di era Presiden Jokowi, kritik keras terus bergulir. 

Salah satu suara paling konsisten datang dari pakar energi dan ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. 

Ia menilai kebijakan tersebut justru membawa lebih banyak mudarat ketimbang manfaat, terutama bagi ormas keagamaan yang selama ini berfokus pada pelayanan umat.

Dalam keterangan tertulis pada Sabtu (20/12/2025) lalu, Fahmy menyampaikan bahwa ormas keagamaan harus konsisten mengurus umat. Mereka disebut tidak boleh jadi pemain tambang. 

Menurut Fahmy, bisnis pertambangan merupakan sektor yang sangat spesifik, sarat risiko, dan menuntut perhitungan matang. 

Ia meragukan kapasitas ormas keagamaan untuk terjun langsung ke dalam pengelolaan tambang tanpa terseret konflik kepentingan. Bahkan, ia menyebut kebijakan itu berpotensi menggiring oknum ormas menjadi broker konsesi tambang.

“Karena, bisnis tambang itu cukup spesifik. Hitung-hitungannya harus kuat dan matang. Mohon maaf, saya kira, itu bukan ranah ormas keagamaan untuk urus tambang,” ujarnya.

Fahmy juga mencurigai adanya motif politik di balik kebijakan yang diputuskan secara cepat oleh rezim Jokowi. 

Ia menduga pemberian konsesi tambang kepada ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak lepas dari upaya membangun ikatan politik jangka panjang.

“Saat memberikan tambang ke NU dan Muhammadiyah, paling tidak ada dua tujuannya. Pertama, melindungi Jokowi dan keluarga, setelah lengser. Kedua, memuluskan langkah politik Kaesang sebagai Gubernur, dan Gibran menjadi RI-1 pada 2029,” imbuhnya.

Dampak kebijakan tersebut kini nyata terlihat di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketegangan internal mencuat, terutama antara Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul), yang berbeda pandangan soal investor pengelola konsesi tambang.

Ketua PBNU Ulil Absar Abdalla mengungkapkan perbedaan itu dalam siniar podcast Gaspol! pada Kamis (27/11/2025). 

“Nah perbedaan pandangan antara Gus Yahya dan Gus Ipul inilah yang membuat hubungan ini jadi bermasalah kan,” ujar Ulil.

Ia menjelaskan, Gus Yahya menghendaki pergantian investor agar sejalan dengan pemerintahan saat ini, sementara Gus Ipul memilih mempertahankan investor lama yang telah bekerja sama sejak era Jokowi. 

“Ketika zaman Pak Jokowi itu ada seorang investor tertentu yang ditunjuk untuk mengelola tambang ini. Kekuasaan yang baru ini menghendaki investor yang lain,” kata Ulil.

Menurut Ulil, Gus Yahya berpandangan bahwa PBNU sebaiknya mengikuti kehendak pemerintah demi menjaga hubungan baik. 

“Daripada kita bertengkar dengan pihak pemerintah dalam soal ini, sudahlah kita ikut (pemerintah) saja. Itu prinsip Gus Yahya,” ujarnya. Namun Gus Ipul bersikukuh dengan komitmen sebelumnya. 

Konflik tersebut kian memanas hingga berujung pada aksi saling pecat di internal PBNU. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926 itu benar-benar terancam terbelah akibat tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi.

Alat Legitimasi

Kegelisahan serupa juga disuarakan putri kedua Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Zanubah Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid. 

Dalam sambutannya pada Haul ke-16 Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Rabu (17/9/2025), Yenny mengingatkan NU agar tidak terjebak menjadi alat legitimasi kepentingan politik tertentu.

Yenny mengungkapkan diskusi pribadinya dengan mantan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, yang disebutnya menolak kebijakan pemberian tambang kepada ormas sejak awal. 

“Beliau (Luhut) menyatakan, ‘Sejak awal saya tidak setuju ormas itu diberi tambang, maka itu saya tidak mau tanda tangan’,” ujar Yenny menirukan ucapan Luhut.

Menurut Yenny, Luhut memahami betul kompleksitas dan risiko konflik dalam pengelolaan tambang. 

“Beliau tahu susahnya mengelola tambang. Kalau tidak dikelola dengan ‘tangan dingin’, tambang justru akan menyebabkan perpecahan,” katanya.

Yenny juga mengaku mencium aroma kepentingan partisan di balik kebijakan tersebut. Ia menyebut adanya seorang menteri yang sangat ngotot mendorong pemberian izin tambang kepada ormas yang berafiliasi dengan partainya. 

“Nah, ternyata sekarang ada beberapa teman wartawan mengatakan, bahwa menteri itu memberikan izin tambang untuk ormas-ormas keagamaan yang berafiliasi dengan partainya,” ujarnya.

“Ini berarti NU hanya dipakai sebagai muhalil saja, hanya sebagai alat legitimasi. Jangan sampai NU masuk ke dalam ‘jebakan Batman’ semacam ini,” tegas Yenny. 

Ia menilai potensi perpecahan akibat tambang sudah nyata di depan mata dan mendukung agar konsesi tersebut dikembalikan kepada pemerintah. 

Menurutnya, jika pemerintah ingin membantu ormas, sebaiknya bantuan diberikan dalam bentuk dana yang bisa langsung dimanfaatkan untuk pendidikan dan kesehatan. 

“Lebih baik uangnya saja, bisa dipakai untuk membangun sekolah, pondok pesantren, atau rumah sakit. Itu jauh lebih bermanfaat,” ujarnya.

Pandangan serupa disampaikan Direktur Jaringan Moderat Islam, Islah Bahrawi. Ia memastikan konflik di PBNU berakar pada persoalan tambang. 

“Saya pastikan memang, persoalan konflik di PBNU itu persoalan tambang. Kalau ada gus atau kiai yang menolak bukan karena tambang, ayo debat sama saya,” kata Islah dalam wawancara di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored, Jumat (19/12/2025).

Islah membeberkan bahwa PBNU telah terikat komitmen finansial sejak awal. 

“PBNU terikat Rp40 miliar sejak awal dengan perusahaan-perusahaan ini. Jadi kalau memang PBNU pada ujungnya tidak bekerja sama dengan perusahaan ini, yang dirugikan orang-orang komitmen puluhan miliar ini,” ujarnya. 

Ia juga menegaskan bahwa izin tersebut terbit saat Jokowi masih menjabat presiden. 

“IUP ini kan dikeluarkan di jaman Pak Jokowi, jadi bagaimana yah. Kalau mau dibilang kita berprasangka buruk, atau berpura-pura tak berprasangka buruk, repot juga,” katanya.

Rangkaian peringatan dari akademisi, tokoh keluarga Gus Dur, hingga pengamat keislaman ini menguatkan satu benang merah bahwa kebijakan pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga membawa konsekuensi politik dan sosial yang serius. 

Bagi NU, pertaruhan yang dihadapi bukan sekadar pengelolaan sumber daya alam, melainkan keutuhan organisasi dan muruahnya sebagai payung besar umat.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS