Tak Ada Izin Baru hingga 2025, Prabowo: Pengelolaan Hutan Harus Berpihak ke Rakyat

Presiden Prabowo memberikan arahan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin (15/12/2025). (Foto: Dok. YouTube/Sekretariat Presiden).

PARBOABOA, Jakarta – Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk menghentikan penerbitan izin baru di kawasan hutan selama satu tahun terakhir.

Kebijakan tersebut mencakup seluruh bentuk perizinan, baik di sektor kehutanan maupun pertambangan.

Bahkan, sepanjang tahun 2025, pemerintah juga tidak melakukan perpanjangan izin yang telah ada sebelumnya.

Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo dalam sidang kabinet paripurna yang digelar di Istana Negara, Jakarta Pusat, pada Senin, 15 Desember 2025.

Dalam forum resmi tersebut, Prabowo menekankan bahwa langkah ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan bagian dari upaya besar untuk menata ulang pengelolaan sumber daya alam agar benar-benar berpihak pada kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat.

Berbagai jenis izin yang dimaksud Presiden Prabowo meliputi izin Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pertambangan (IUP), serta sejumlah izin sejenis lainnya yang selama puluhan tahun menjadi pintu masuk eksploitasi sumber daya alam di kawasan hutan.

“Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid mengatakan selama tahun ini tidak ada satu pun izin yang dikeluarkan atau diperpanjang,” kata Prabowo dalam sidang kabinet paripurna tersebut.

Lebih jauh, Prabowo menjelaskan bahwa saat ini pemerintah tengah melakukan peninjauan ulang terhadap seluruh izin yang sudah ada.

Peninjauan ini dilakukan dengan satu tujuan utama, yakni memastikan bahwa setiap izin benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia dan sejalan dengan amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal tersebut menegaskan bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Dalam konteks itu, Prabowo juga menyoroti praktik penempatan keuntungan oleh para pemegang izin.

Ia menegaskan bahwa keuntungan dari HGU, HTI, HPH, maupun IUP harus ditempatkan dan berputar di dalam negeri.

Jika tidak, menurutnya, keberadaan izin tersebut justru merugikan kepentingan nasional dan rakyat Indonesia.

“Kalau dibiarkan terus, kita lalai,” kata dia dengan nada tegas, menandakan bahwa pemerintah tidak ingin mengulangi kesalahan masa lalu dalam pengelolaan sumber daya alam.

Penegasan Presiden Prabowo ini menjadi relevan ketika dikaitkan dengan temuan koalisi masyarakat sipil yang sejak lama menyoroti praktik korporasi pemegang izin HTI.

Pada April 2025, koalisi masyarakat sipil mengungkap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh 33 korporasi pemegang HTI yang tersebar di 11 provinsi.

Wakil Koordinator Jikalahari Riau, Datuk Aldo, menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berada di Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Papua.

Temuan tersebut merupakan hasil pemantauan lapangan yang dilakukan sepanjang Desember 2023 hingga Maret 2025.

Aldo menjelaskan bahwa pemantauan ini merupakan kelanjutan dari laporan koalisi masyarakat sipil yang telah berjalan sejak 2018.

 Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, koalisi telah melakukan pemantauan terhadap 122 korporasi, yang terdiri atas 109 korporasi pemegang HTI dan 13 korporasi pemegang izin perkebunan sawit.

“Korporasi HTI terus merusak hutan dan berkonflik dengan masyarakat adat dan tempatan,” kata Aldo, menggambarkan dampak nyata dari aktivitas industri kehutanan di lapangan.

Menurut laporan tersebut, temuan utama koalisi masyarakat sipil menunjukkan bahwa kinerja korporasi HTI di 11 provinsi tersebut mengabaikan berbagai peraturan penting.

Mulai dari perlindungan dan pemulihan ekosistem gambut, ketiadaan komitmen No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE), hingga pengingkaran terhadap kebijakan keberlanjutan yang mereka susun sendiri.

Koalisi juga menemukan adanya deforestasi, baik di dalam maupun di luar area konsesi.

Selain itu, kebakaran hutan terjadi di area fungsi lindung ekosistem gambut, disertai aktivitas pembukaan lahan dan penanaman akasia di kawasan lindung serta area prioritas restorasi yang ditetapkan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG).

“Tidak ada upaya pemulihan gambut, baik rewetting, revegetation, maupun revitalisasi mata pencarian masyarakat setempat yang dilakukan perusahaan di areal prioritas restorasi. Malah terdapat penanaman akasia di luar izin konsesi,” ujar Aldo.

Dalam pandangan Aldo, hasil pemantauan lapangan tersebut seharusnya menjadi pijakan kuat bagi Kementerian Kehutanan untuk bertindak tegas. Ia menilai pemerintah memiliki dasar yang cukup untuk menindak pelaku pencemaran, perusakan lingkungan, dan pembakaran hutan, sekaligus mengevaluasi izin-izin korporasi HTI yang bermasalah.

“Koalisi ingin mendorong pemerintah untuk me-review Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021, khususnya masa izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan yang dapat mencapai 180 tahun,” kata Aldo, menyoroti panjangnya masa izin yang dinilai rawan disalahgunakan.

Akibat Deforestasi

Di sisi lain, isu kerusakan hutan juga mencuat dalam sidang kabinet paripurna yang sama, terutama terkait bencana ekologis di Sumatra.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam kesempatan tersebut menyinggung banjir besar, longsor, dan kebakaran hutan yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra sepanjang 2025.

Ia menegaskan bahwa bencana tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi tutupan hutan yang terus menurun akibat deforestasi dan lemahnya kepatuhan terhadap aturan perlindungan lingkungan.

Menurut Raja Juli Antoni, pemerintah akan memperkuat pengawasan kawasan hutan di Sumatra dan mempercepat penindakan terhadap korporasi yang terbukti melanggar hukum.

Ia menekankan bahwa kebijakan penghentian izin baru harus diikuti dengan evaluasi menyeluruh terhadap izin lama, agar bencana serupa tidak terus berulang dan merugikan masyarakat.

Dengan berbagai langkah tersebut, pemerintah berharap kebijakan kehutanan ke depan tidak lagi menjadi sumber konflik dan bencana, melainkan menjadi fondasi bagi pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan benar-benar berpihak pada rakyat, sejalan dengan visi dan misi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS