Menhut: Sejumlah Izin Perusahaan Prabowo Dialihkan untuk Koridor Gajah

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni (kanan) bersama Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki ketika rapat kerja dengan Komisi IV di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 4 Desember 2025 . (Foto: Dok. Tempo)

PARBOABOA, Jakarta – Isu pengelolaan hutan di Aceh kembali menjadi sorotan nasional setelah Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto merupakan pemilik PT Tusam Hutani Lestari.  

Ini merupakan sebuah perusahaan yang mengantongi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara.

Pernyataan ini disampaikan di tengah perdebatan publik mengenai hubungan antara konsesi hutan, aktivitas industri, dan bencana banjir serta tanah longsor yang melanda wilayah Sumatra pada akhir November 2025.

Di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Senin, 15 Desember 2025, Raja Juli Antoni menegaskan bahwa sebagian besar izin perusahaan tersebut justru telah dialokasikan untuk kepentingan konservasi.

Ia menyebut, Presiden Prabowo telah menyerahkan 20 ribu hektare dari PBPH PT Tusam Hutani Lestari guna dijadikan koridor gajah di Aceh.

“Itu punya Beliau (Prabowo) dan sudah diserahkan untuk koridor gajah yang bekerja sama dengan World Wide Fund for Nature,” kata Raja Juli.

Menurut Raja Juli, inisiatif tersebut bahkan melampaui permintaan awal lembaga konservasi internasional itu.

WWF, kata dia, semula hanya meminta 10 ribu hektare kawasan hutan. Namun, Prabowo memilih menggandakan luas area yang diberikan.

“Bahkan seluruh konsesi PBPH-nya diserahkan untuk membuat koridor gajah yang sekarang sudah berdiri bersama dengan WWF,” ujar politikus Partai Solidaritas Indonesia tersebut.

Namun, di sisi lain, klaim konservasi itu berhadapan dengan kritik keras dari organisasi masyarakat sipil.

Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatam) sebelumnya memetakan sebaran izin konsesi hutan milik PT Tusam Hutani Lestari yang membentang dari Aceh Tengah hingga Aceh Utara.

Dalam pemetaan tersebut, konsesi perusahaan itu berdampingan dengan puluhan izin tambang, serta area Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) lainnya.

Jatam menduga aktivitas perusahaan tersebut berkontribusi terhadap bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh pada akhir November 2025.

“Operasi mereka ikut berdampak terhadap menurunnya daya dukung lingkungan di sekitarnya,” kata Koordinator Nasional Jatam, Melky Nahar, kepada media, pada, 7 Desember 2025.

Melky memperlihatkan peta yang memuat sejumlah perusahaan pemilik konsesi atau izin usaha pemanfaatan hutan di Aceh.

Dari peta tersebut, ia menyorot PT Tusam Hutani Lestari yang memiliki izin seluas 97 ribu hektare.

Menurut dia, keberadaan perusahaan ini sudah lama diprotes warga setempat karena dinilai merampas ruang hidup dan mengubah hutan adat menjadi kebun industri pinus.

Ia juga menjelaskan bahwa area izin usaha PT Tusam Hutani Lestari berdampingan langsung dengan kegiatan tambang PT Linge Mineral Resources (emas) yang menguasai area seluas 36.420 hektare.

“Kalau kami cek, memang terjadi tumpang tindih antara konsesi hutan PT Tusam dengan PT Linge Mineral Resources ini,” ujar Melky.

Menurut Melky, secara keseluruhan, keberadaan konsesi hutan dan tambang di wilayah pegunungan dan hulu sungai Aceh telah menggerus tutupan hutan secara signifikan.

Kondisi itu, kata dia, merusak daerah tangkapan air dan melemahkan kemampuan alam menahan limpasan hujan, terutama saat hujan ekstrem yang dipicu oleh dampak Siklon Tropis Senyar pada akhir November 2025.

Jatam juga mengunggah peta deforestasi Aceh di media sosial. Unggahan itu memicu kontroversi luas di kalangan netizen.

Sebagian warganet mengaitkan keberadaan perusahaan milik Prabowo tersebut dengan sikap pemerintah pusat yang dinilai enggan menetapkan status banjir dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bencana nasional.

Peta tersebut menunjukkan bahwa banjir besar di Aceh terjadi di wilayah konsesi PT Tusam Hutani Lestari.

Sesuai dengan temuan Jatam, perusahaan pemegang HTI itu menguasai sekitar 97 ribu hektare hutan di Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara.

Selain PT Tusam, Melky juga membeberkan keberadaan sekitar 30 izin tambang mineral dan batu bara dengan luas lebih dari 132 ribu hektare, serta konsesi kayu dan HTI lain yang membentang hingga ke batas permukiman warga.

Fakta-fakta tersebut, menurut Jatam, menguatkan dugaan bahwa penyebab banjir bandang di Aceh tidak semata-mata curah hujan tinggi, melainkan juga akumulasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas korporasi.

Narasi inilah yang kemudian memperkuat tekanan publik terhadap pemerintah.

Dalam Sidang Kabinet yang digelar pada 15 Desember 2025, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni turut menyinggung bencana alam yang melanda wilayah Sumatra.

Ia menyatakan bahwa pemerintah pusat sedang melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin kehutanan dan pertambangan di daerah rawan bencana.

Menurutnya, tragedi banjir dan longsor di Sumatra harus menjadi pelajaran penting agar pengelolaan sumber daya alam tidak lagi mengabaikan keseimbangan ekologi.

Pemerintah, kata Raja Juli, berkomitmen memperkuat pengawasan, memperbaiki tata kelola hutan, serta memastikan bahwa kepentingan konservasi dan keselamatan rakyat tidak dikorbankan oleh kepentingan ekonomi semata.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS