PARBOABOA, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya angkat bicara terkait keputusan menghentikan penanganan kasus dugaan korupsi dan suap izin pertambangan nikel senilai Rp2,7 triliun yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.
Keputusan tersebut menandai berakhirnya salah satu perkara besar yang sempat menyita perhatian publik sejak pertama kali diungkap pada 2017 lalu.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penghentian penyidikan dilakukan bukan tanpa alasan.
Menurutnya, langkah penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) diambil demi memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat, setelah penyidik tidak menemukan kecukupan alat bukti untuk melanjutkan perkara ke tahap penuntutan.
Selain itu, sebagian dugaan tindak pidana dalam kasus ini dinyatakan telah melewati batas waktu penuntutan atau kedaluwarsa.
“Penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh KPK sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti dalam proses penyidikan yang dilakukan, Pasal 2, Pasal-3 nya yaitu terkendala dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” kata Budi saat dikonfirmasi melalui keterangan tertulis, Minggu (28/12/2025).
Ia menambahkan bahwa persoalan waktu menjadi faktor krusial dalam perkara ini. Dugaan tindak pidana yang terjadi pada 2009 dinilai telah melampaui batas daluwarsa, khususnya untuk unsur suap yang disangkakan kepada Aswad Sulaiman.
“Kemudian dengan tempus perkara yang sudah 2009 ini juga berkaitan dengan daluwarsa perkaranya, yakni terkait Pasal suapnya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Budi menegaskan bahwa penerbitan SP3 bukan sekadar keputusan administratif, melainkan bentuk tanggung jawab lembaga penegak hukum dalam menjunjung asas kepastian hukum.
Menurutnya, setiap proses hukum harus berjalan sesuai norma dan prinsip yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, tanpa mengabaikan hak-hak pihak yang diperiksa.
Ia merujuk pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang menegaskan bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK harus berlandaskan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Meski demikian, KPK tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai alasan mengapa kasus dugaan suap tersebut tidak dibawa ke pengadilan pada tahun-tahun sebelumnya, sebelum memasuki masa kedaluwarsa. Hal ini pun memunculkan pertanyaan publik terkait lamanya penanganan perkara yang sempat digadang-gadang sebagai salah satu kasus korupsi tambang terbesar di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada Oktober 2017.
Ia diduga terlibat dalam praktik korupsi terkait pemberian izin pertambangan nikel di wilayah Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Dalam konstruksi perkara, Aswad disinyalir telah menerbitkan izin usaha pertambangan kepada sejumlah perusahaan dengan cara yang melawan hukum.
Akibat perbuatan tersebut, negara diduga mengalami kerugian yang sangat besar, mencapai Rp2,7 triliun.
Kerugian itu disebut berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diperoleh dari izin-izin bermasalah tersebut.
“Indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya sebesar Rp2,7 triliun yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga diperoleh akibat perizinan yang melawan hukum,” ujar Wakil Ketua KPK saat itu, Saut Situmorang, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 3 Oktober 2017.
Dalam kapasitasnya sebagai Bupati Konawe Utara pada periode 2007–2009 dan 2011–2016, Aswad diketahui menerbitkan izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan operasi produksi kepada sejumlah perusahaan sejak 2007 hingga 2014. Selain dugaan kerugian negara, ia juga disangkakan menerima aliran dana suap.
“Diduga telah menerima uang sejumlah Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin kuasa pertambangan kepada Pemkab Konawe Utara,” kata Saut.
Atas dugaan suap tersebut, Aswad disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kabupaten Konawe Utara sendiri dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil nikel terbesar di Sulawesi Tenggara.
Kekayaan sumber daya alam inilah yang sejak lama menjadikan daerah tersebut rawan terhadap praktik penyalahgunaan kewenangan dalam sektor pertambangan.
Dengan dihentikannya penyidikan kasus ini, KPK menegaskan posisinya sebagai lembaga yang tetap berpegang pada aturan hukum, meskipun keputusan tersebut menuai beragam tanggapan dari masyarakat.
Kasus ini sekaligus menjadi pengingat bahwa penegakan hukum tidak hanya dituntut tegas, tetapi juga harus berjalan tepat waktu dan berbasis bukti yang kuat.
